"Hidup"

Ibarat kita menyebrang jalan.

"Tiada sesuatu yang disesali oleh penghuni surga kecuali satu jam yang mereka lewatkan (di dunia) tanpa mereka gunakan untuk berzikir kepada Allah Azza wajalla. (HR. Ad-Dailami)"

Senin, 29 Juli 2013

Belajar Pada Kisah Al Qomah

Al-Qomah adalah sahabat Nabi saw yang baik dan pemuda yang sangat rajin beribadah. Pada suatu hari secara tiba tiba ia jatuh sakit. Isterinya menyuruh seseorang memberi kabar kepada Rasulallah saw tentang keadaan suaminya yang sakit keras dan dalam keadaan sakaratul maut.
Lalu Rasulallah saw menyuruh Ali, Bilal ra dan dan beberapa sahabat lainya melihat keadaan Alqomah. Begitu mereka sampai di rumah Alqomah, mereka melihat keadaanya sudah krisis tidak ada harapan hidup. Kemudian mereka segera membantunya membacakan kalimah syahadat (la ilaha illaah) dihadapanya, tetapi lidah Alqomah tidak mampu menyebutnya.
Setelah melihat keadaan Alqomah yang semakin menghampiri akhir ajalnya dan semakin parah ditambah lagi ia tidak mampu mengucapkan kalimat syahadat, mereka menyuruh Bilal memberitahukan Rasulallah saw. Maka Bilal menceritakan kepada beliau segala hal yang terjadi atas diri Al-Qomah.
Lalu Rasulallah saw bertanya kepada Bilal, “Apakah ayah Al-Qomah masih hidup?”Bilal pun menjawab, “Tidak ya Rasulallah, ayahnya sudah meninggal, tetapi ibunya masih hidup dan sangat tua usianya.”
Kemudian Rasulallah saw berkata lagi, “Pergilah kamu ya Bilal menemui ibunya, sampaikan salamku dan katakan kepadanya kalau ia bisa datang menjumpaiku. Kalau dia tidak bisa berjalan, katakan aku akan datang ke rumahnya menjumpainya.”
Bilal tiba di rumah ibu Alaqomah, ibunya mengatakan bahawa dia ingin menemui Rasulallah saw. Lalu ia mengambil tongkat dan terus berjalan menuju ke rumah beliau.
Setibanya disana ibu Al-Qamah memberi salam dan duduk di hadapan Rasulallah saw. Kemudian Rasulallah saw membuka pembicaranya, “Ceritakan kepadaku yang sebenarnya tentang anakmu Al-Qomah. Jika kamu berdusta, niscaya akan turun wahyu kepadaku,”
Dengan rasa sedih ibunya bercerita, “Ya Rasulallah, sepanjang masa, aku melihat Al-Qomah adalah laki-laki dewasa, laki-laki yang cerdas, sholeh dan selalu melakukan perintah Allah dengan sempurna, sangat rajin beribadat. Shalat dan puasa tidak pernah ditinggalkannya dan sangat suka bersedekah
“Ya Rasullah, semenjak aku mendapat kabar gembira tentang kehamilanku aku membawa Al-Qamah 9 bulan di perutku. Tidur, berdiri, makan dan bernafas bersamanya. Akan tetapi semua itu tidak mengurangi cinta dan kasihku kepadanya.”
“Ya Rasulallah, aku mengandungnya dalam kondisi lemah di atas lemah, tapi aku begitu gembira dan puas setiap aku rasakan perutku semakin hari semakin bertambah besar dan ia dalam keadaan sehat wal afiat dalam rahimku.”
“Kemudian tiba waktu melahirkanya ya Rasulallah. Pada saat itu aku melihat kematian di mataku.. hingga tibalah waktunya ia keluar ke dunia. Ia pun lahir. Aku mendengar ia menangis maka hilang semua sakit dan penderitaanku bersama tangisannya.”
Ibu Al-qamah mulai menangis, lalu ia melanjutkan ceritanya, “Kemudian, berlalulah waktu. Hari berganti hari, bulan berganti bulan dan tahun berganti tahun. Selama itu aku setia menjadi pelayannya yang tidak pernah lalai menjadi pendampingnya yang tidak pernah berhenti. Aku tidak pernah lelah mendo’akannya agar ia mendapat kebaikan dan taufiq dari Allah.”
“Ya Rasulallah, aku selalu memperhatikannya hari demi hari hingga ia menjadi dewasa. Badannya tegap, ototnya kekar, kumis dan jambang telah menghiasi wajahnya. Pada saat itu aku mulai melirik ke kiri dan ke kanan untuk mencari pasangan hidupnya.”
Kemudian ia melanjutkan ceritanya, “Tapi sayang ya Rasulallah, setelah ia beristri aku tidak lagi mengenal dirinya, senyumnya yang selama ini menjadi pelipur duka dan kesedihanku, sekarang telah hilang, dan tawanya telah tenggelam. Aku benar-benar tidak mengenalnya lagi karena ia telah melupakanku dan melupakan hakku.”
“Aku tidak mengharap sesuatu darinya ya Rasulallah, yang aku harapkan hanya aku ingin melihat rupanya, rindu dengan wajahnya. Ia tidak pernah menghapiriku lagi. Ia tidak pernah menanyakan halku, tidak memperhatikanku lagi. Seolah olah aku dibuang di tempat yang jauh.”
“Ya Rasulallah, aku ini tidak meminta banyak darinya, dan tidak menagih kepadanya yang bukan-bukan. Yang aku pinta darinya, jadikan aku sebagai sahabat dalam kehidupannya. Jadikanlah aku sebagai pembantu di rumahnya, agar bisa juga aku bisa menatap wajahnya setiap saat. Sayangnya dia lebih mengutamakan isterinya daripada diriku dan menuruti kata-kata isterinya sehingga dia menentangku.”
Rasulallah saw sangat terharu mendengar cerita ibu Al-Qamah. Kemudia beliau menyuruh Bilal mencari kayu bakar utuk membakar Al-Qomah hidup hidup. Begitu Ibu Al-Qamah mendengar perintah tersebut, ia pun berkata dengan tangisan dan suara yang terputus putus, “Wahai Rasullullah, kamu hendak membakar anakku di depan mataku? Bagaimana hatiku dapat menerimanya? Ya Rasulallah, walaupun usiaku sudah lanjut, punggungku bungkuk, tangganku bergetar. Walaupun ia tidak pernah menghapiriku lagi tapi cintaku kepadanya masih seperti dulu, masih seperti lautan yang tidak pernah kering. Janganlah kamu bakar anakku hidup hidup”
Rasulallah saw bersabda “Siksa Allah itu lebih berat dan kekal. Karena itu jika kamu ingin Allah mengampuni dosa anakmu itu, maka hendaklah kamu mengampuninya. Demi Allah yang jiwaku di tangan-Nya, tidak akan berguna sholatnya, puasanya dan sedekahnya, semasih kamu murka kepadanya.”
Kemudian ibu Al-Qomah mengangkat kedua tangannya dan berdoa, “Ya Rasullullah, aku bersaksi kepada Allah yang di langit dan bersaksi kepadamu ya Rasullullah dan mereka-mereka yang hadir disini bahwa aku aku telah ridho pada anakku Al-Qomah.”
Lalu Rasulallah saw mengarah kepada Bilal ra dan berkata, “Pergilah kamu wahai Bilal, dan lihat kesana keadaan Al-Qomah apakah ia bisa mengucapkan syahadat atau tidak? Aku khawatir, kalau-kalau ibu Al-Qomah mengucapkan itu semata-mata karena aku dan bukan dari hatinya,”
Bilal pun sampai di rumah Alqomah, tiba-tiba terdengar suara Al-Qomah menyebut, “La ilaha illallah”. Lalu Bilal masuk sambil berkata, “Wahai semua orang yang berada di sini. Ketahuilah sesungguhnya kemarahan seorang ibu kepada anaknya bisa membuat kemarahan Allah, dan ridho seorang ibu bisa membuat keridhoan-Nya .” Maka Al-Qomah telah wafat pada waktu dan saat yang sangat baik baginya”
Lalu Rasulallah saw segera pergi ke rumah Al-Qomah. Para sahabat memandikan, kafankan dan menyolatinya diimami oleh Rasulallah saw. Sesudah dikuburkan beliau bersabda sambil berdiri didekat kubur, “Wahai sahabat Muhajirin dan Ansar. Sesiapa yang mengutamakan isterinya dari ibunya, maka dia akan dilaknat oleh Allah dan semua ibadahnya tidak diterima Allah.”

Minggu, 19 Juni 2011

Apakah Menyentuh Kemaluan Membatalkan wudhu ?

Yang dimaksudkan dengan menyentuh kemaluan adalah menyentuhnya tanpa adanya pembatas. Sedangkan apabila seseorang menyentuh kemaluan dengan pembatas misalnya dengan kain atau pakaian, maka itu tidak membatalkan wudhu.
Dalam masalah menyentuh kemaluan apakah membatalkan wudhu atau tidak, ada empat pendapat di kalangan ulama. Dua pendapat merupakan hasil dari mengkompromikan dalil (menjama') dan dua pendapat lain merupakan hasil dari mentarjih (memilih dalil yang lebih kuat).
Pendapat pertama: Menyentuh kemaluan tidak membatalkan wudhu sama sekali.
Pendapat ini adalah pendapat madzhab Abu Hanifah, salah satu pendapat Imam Malik dan merupakan pendapat beberapa sahabat.
Di antara dalil dari pendapat ini adalah hadits dari Tholq bin 'Ali di mana ada seseorang yang mendatangi Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam lalu bertanya,

مَسِسْتُ ذَكَرِى أَوِ الرَّجُلُ يَمَسُّ ذَكَرَهُ فِى الصَّلاَةِ عَلَيْهِ الْوُضُوءُ قَالَ « لاَ إِنَّمَا هُوَ مِنْكَ
Aku pernah menyentuh kemaluanku atau seseorang ada pula yang menyentuh kemaluannya ketika shalat, apakah ia diharuskan untuk wudhu?” Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, “Kemaluanmu itu adalah bagian darimu.”  (HR. Ahmad 4/23. Syaikh Syu'aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa ada seseorang yang mendatangi Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, lantas ia bertanya,

يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا تَرَى فِى رَجُلٍ مَسَّ ذَكَرَهُ فِى الصَّلاَةِ قَالَ « وَهَلْ هُوَ إِلاَّ مُضْغَةٌ مِنْكَ أَوْ بَضْعَةٌ مِنْكَ ».
Wahai Rasulullah, apa pendapatmu mengenai seseorang yang menyentuh kemaluannya ketika shalat?” Beliau bersabda, “Bukankah kemaluan tersebut hanya sekerat daging darimu atau bagian daging darimu?”  (HR. An Nasa-i no. 165. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Dan juga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berhujah dengan hadits ini, maka itu pertanda beliau menshahihkannya. Lihat Majmu' Al Fatawa, 21/241)
Pendapat kedua: Menyentuh kemaluan membatalkan wudhu.
Pendapat ini adalah pendapat madzhab Imam Malik, Imam Asy Syafi'i -pendapat beliau yang masyhur-, Imam Ahmad, Ibnu Hazm dan diriwayatkan pula dari banyak sahabat.
Di antara dalil dari pendapat ini adalah hadits dari Buroh binti Shofwan,

مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ
Barangsiapa yang menyentuh kemaluannya, hendaklah ia berwudhu.” (HR. Abu Daud no. 181, An Nasa-i no. 447, dan At Tirmidzi no. 82. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Terdapat pula hadits yang serupa dengan di atas dari Ummu Habibah, Abu Hurairah, Arwa binti Unais, 'Aisyah, Jabir, Zaid bin Kholid, dan 'Abdullah bin 'Amr.
Menurut para ulama yang berpegang dengan pendapat kedua ini menyatakan bahwa hadits dari Busroh lebih rojih (lebih kuat) dari hadits Tholq yang disebutkan dalam pendapat pertama dengan alasan sebagai berikut:
  1. Hadits Tholq adalah hadits yang memiliki 'illah (cacat) sebagaimana dikatakan oleh Abu Zur'ah dan Abu Hatim.
  2. Seandainya hadits tersebut adalah shahih, tetap hadits Abu Hurairah yang semakna dengan hadits Busroh (pada pendapat kedua) lebih didahulukan dari hadits Tholq. Alasannya, hadits Tholq dinaskh (dihapus) dengan hadits Abu Hurairah (yang semakna dengan hadits Busroh) disebabkan Tholq datang di Madinah lebih dulu daripada Abu Hurairah. Yang mengatakan adanya naskh adalah Ath Thobroni dalam Al Kabir (8/402), Ibnu Hibban (Ihsan, 3/405), Ibnu Hazm dalam Al Muhalla (1/239), Al Hazimi dalam Al I'tibar (77), Ibnul 'Arobi dalamm Al 'Aridhoh (1/117), dan Al Baihaqi dalam Al Khilafiyat (2/289).
  3. Yang meriwayatkan hadits bahwa menyentuh kemaluan membatalkan wudhu lebih banyak dan haditsnya telah masyhur.
  4. Ini adalah pendapat kebanyakan sahabat.
  5. Hadits Tholq dapat dipahami bahwa laki-laki yang menyentuh kemaluan tersebut bermaksud menyentuh pahanya, namun akhirnya kemaluannya (yang berada di balik pakaian) tersentuh, sebagaimana diceritakan dalam hadits bahwa laki-laki tersebut berada dalam shalat.
Ini adalah alasan ulama yang menyatakan bahwa menyentuh kemaluan termasuk pembatal wudhu. Pendapat pertama dan kedua ini lebih cenderung menggunakan metode tarjih (menguatkan salah satu dalil). Sedangkan pendapat selanjutnya menggunakan metode jama' (mengkompromikan dalil yang ada).

Pendapat ketiga: Menyentuh kemaluan membatalkan wudhu jika dengan syahwat, namun tidak membatalkan wudhu jika tanpa syahwat.
Pendapat ini adalah pendapat Imam Malik dan dipilih oleh Syaikh Al Albani -rahimahumallah-. Alasan yang mereka gunakan adalah mereka menyatakan bahwa hadits Busroh (yang menyatakan wudhunya batal) dimaksudkan bagi yang menyentuh kemaluan dengan syahwat. Sedangkan yang menyentuh kemaluan tanpa syahwat tidak membatalkan wudhu berdasarkan hadits Tholq. Dalil yang menunjukkan pendapat ini adalah pada sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,

وَهَلْ هُوَ إِلاَّ مُضْغَةٌ مِنْكَ أَوْ بَضْعَةٌ مِنْكَ
Bukankah kemaluan tersebut hanya sekerat daging darimu?
Jadi, jika seseorang menyentuh kemaluan tanpa syahwat, maka itu sama saja seperti menyentuh anggota tubuh yang lain.
Pendapat keempat: Berwudhu ketika menyentuh kemaluan adalah sunnah (dianjurkan) secara mutlak dan bukan wajib.Pendapat ini adalah salah satu pendapat dari Imam Ahmad dan pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -rahimahumallah-.
Pendapat ini menilai bahwa perintah dalam hadits Busroh adalah sunnah (dianjurkan). Sedangkan hadits Tholq adalah dalam konteks pertanyaan yang dikiranya menyentuh kemaluan itu wajib.
Alasan dari pendapat terakhir ini adalah dengan menempuh metode jama' yaitu mengkompromikan dalil. Sedangkan argumen untuk pendapat lainnya adalah sebagai berikut:
  1. Menyatakan bahwa Tholq lebih dulu masuk Islam daripada Busroh tidaklah tepat dinyatakan sebagai alasan menyatakan naskh (bahwa hadits Tholq dihapus). Yang tepat, naskh dan mansukh dilihat di antara dua hadits tersebut manakah yang diucapkan lebih dulu dan manakah yang belakangan. Tanpa mengetahui tarikh (sejarah) semacam itu, maka sulit diklaim adanya naskh.
  2. Dalam hadits Tholq yang menyebutkan bahwa wudhu tidak batal karena menyentuh kemaluan, disebutkan 'illah (sebab adanya hukum) yaitu kemaluan merupakan bagian dari tubuh kita. Dan hukum tersebut dikaitkan dengan 'illah ini. 'Illah bahwa kemaluan merupakan bagian dari tubuh sangat mustahil dihilangkan. Sehingga klaim naskh (bahwa hadits Tholq itu dihapus) tidaklah tepat.
  3. Naskh (menghapus salah satu dalil) lebih tepat digunakan jika ada udzur untuk menjama' (mengkompromikan dalil). Lebih-lebih lagi jika klaim naskh tidaklah tepat sebagaimana telah kami kemukakan.
  4. Pendapat yang menyatakan bahwa menyentuh kemaluan membatalkan wudhu jika dengan syahwat dan tidak membatalkan jika tanpa syahwat adalah pendapat yang perlu dikritisi lagi. Sekarang, bagaimana seseorang dikatakan syahwat ataukah tidak? Artinya, sulit sekali kita menentukan patokan atau standar syahwat ataukah tidak.

Pendapat yang terkuat:
Jika memandang hadits Tholq, yang disimpulkan bahwa menyentuh kemaluan tidak membatalkan wudhu  adalah hadits yang shahih, maka pendapat keempat pantas untuk dijadikan hujjah, yaitu berwudhu ketika menyentuh kemaluan hanyalah sunnah (bukan wajib). Pendapat ini dinilai lebih tepat karena menempuh jalan pertengahan dengan mengkompromikan dalil, tanpa menghapus salah satu dalil.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,

وَالْأَظْهَرُ أَيْضًا أَنَّ الْوُضُوءَ مِنْ مَسِّ الذَّكَرِ مُسْتَحَبٌّ لَا وَاجِبٌ وَهَكَذَا صَرَّحَ بِهِ الْإِمَامُ أَحْمَد فِي إحْدَى الرِّوَايَتَيْنِ عَنْهُ وَبِهَذَا تَجْتَمِعُ الْأَحَادِيثُ وَالْآثَارُ بِحَمْلِ الْأَمْرِ بِهِ عَلَى الِاسْتِحْبَابِ لَيْسَ فِيهِ نَسْخُ قَوْلِهِ : { وَهَلْ هُوَ إلَّا بَضْعَةٌ مِنْك ؟ }
“Pendapat yang lebih kuat, hukum berwudhu ketika menyentuh kemaluan adalah sunnah (dianjurkan) dan bukan wajib. Hal ini ditegaskan dari salah satu pendapat Imam Ahmad. Pendapat ini telah mengkompromikan berbagai dalil sehingga dalil yang menyatakan perintah dimaksudkan dengan sunnah (dianjurkan) dan tidak perlu adanya naskh pada hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, “Bukankah kemaluan tersebut adalah sekerat daging darimu?” (Majmu' Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 21/241, Darul Wafa', cetakan ketiga, tahun 1426 H)
Namun bila ingin lebih hati-hati, ada pendapat dari Syaikh Muhammad bin Sholih Al 'Utsaimin -rahimahullah- bahwa menyentuh kemaluan tanpa syahwat disunnahkan (dianjurkan) untuk berwudhu, sedangkan jika dilakukan dengan syahwat diharuskan (diwajibkan) untuk berwudhu. Inilah pendapat beliau dalam Syarhul Mumthi' dalam rangka kehati-hatian, untuk melepaskan diri dari perselisihan ulama yang ada. Wallahu Ta'ala a'lam.

Permasalahan yang Berkaitan dengan Menyentuh Kemaluan
Pertama: Apakah jika suami menyentuh kemaluan istri batal wudhunya?
Jawabannya, tidak membatalkan wudhu karena tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa hal tersebut membatalkan wudhu, begitu pula sebagaimana telah dijelaskan bahwa menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu menurut pendapat paling kuat. Kecuali jika yang keluar adalah madzi atau mani, maka wudhunya tersebut batal. Wudhunya batal bukan karena sebab menyentuh kemaluan ketika itu, namun karena keluarnya mani dan madzi. Sudah sangat jelas bahwa jika mani dan madzi keluar, maka akan membatalkan wudhu.
Kedua: Apakah menyentuh kemaluan anak kecil membatalkan wudhu?
Jawabannya, tidak membatalkan wudhu. Inilah yang menjadi pendapat Az Zuhri dan Al Auza’i.
Ketiga: Apakah menyentuh kemaluan tidak secara langsung (misalnya mengenai kain) membatalkan wudhu?
Jawabannya, tidak membatalkan wudhu. Hal ini didukung oleh dalil dari Abu Hurairah,

إذا أفضى أحدكم بيده إلى ذكره ليس بينه وبينه شيء فليتوضأ
Jika salah seorang di antara kalian menyentuh kemaluannya dengan tangan kanannya sedangkan di antara sentuhan dan kemaluannya tersebut tidak dihalangi sesuatu apa pun, maka hendaklah ia berwudhu.” (HR. Al Baihaqi dan Ad Daruquthni. Hadits ini dihasankan oleh Syaikh Abu Malik). Dipahami dari sini, sebaliknya jika ada penghalang ketika menyentuh, maka tidak perlu berwudhu, artinya tidak membatalkan wudhu.
Keempat: Apakah menyentuh dubur membatalkan wudhu?
Jawabannya, tidak membatalkan wudhu. Inilah yang menjadi pendapat Imam Malik, Ats Tsauri dan ulama Hanafiyah, berbeda halnya dengan pendapat Imam Asy Syafi’i. Dubur tidaklah tepat diqiyaskan (dianalogikan) dengan kemaluan karena ‘illah (sebab) adanya hukum di antara keduanya tidak bisa dikaitkan.

Selasa, 07 Juni 2011

Perang Uhud

Pengalaman pahit yang dirasakan oleh kaum Quraisy dalam perang Badar telah menyisakan luka mendalam nan menyakitkan. Betapa tidak, walaupun jumlah mereka jauh lebih besar dan perlengkapan perang mereka lebih memadai, namun ternyata mereka harus menanggung kerugian materi yang tidak sedikit.

Dan yang lebih menyakitkan mereka adalah hilangnya para tokoh mereka. Rasa sakit ini, ditambah lagi dengan tekad untuk mengembalikan pamor Suku Quraisy yang telah terkoyak dalam Perang Badar, mendorong mereka melakukan aksi balas dendam terhadap kaum Muslimin. Sehingga terjadilah beberapa peperangan setelah Perang Badar. Perang Uhud termasuk di antara peperangan dahsyat yang terjadi akibat api dendam ini. Disebut perang Uhud karena perang ini berkecamuk di dekat gunung Uhud. Sebuah gunung dengan ketinggian 128 meter kala itu, sedangkan sekarang ketinggiannya hanya 121 meter. Bukit ini berada di sebelah utara Madinah dengan jarak 5,5 km dari Masjid Nabawi.

WAKTU KEJADIAN

Para Ahli Sirah sepakat bahwa perang ini terjadi pada bulan Syawwâl tahun ketiga hijrah Rasulullâh Salallahu ‘Alaihi Wassalam ke Madinah. Namun mereka berselisih tentang harinya. Pendapat yang yang paling masyhûr menyebutkan bahwa perang ini terjadi pada hari Sabtu, pertengahan bulan Syawwal.


PENYEBAB PERANG


Di samping perang ini dipicu oleh api dendam sebagaimana disebutkan diawal, ada juga penyebab lain yang tidak kalah pentingnya yaitu misi menyelamatkan jalur bisnis mereka ke Syam dari kaum Muslimin yang dianggap sering mengganggu. Mereka juga berharap bisa memusnahkan kekuatan kaum Muslimin sebelum menjadi sebuah kekuatan yang dikhawatirkan akan mengancam keberadaan Quraisy.

Inilah beberapa motivasi yang melatarbelakangi penyerangan yang dilakukan oleh kaum Quraisy terhadap kaum Muslimin di Madinah.


JUMLAH PASUKAN


Kaum Quraisy sejak dini telah mempersiapkan pasukan mereka. Barang dagangan dan keuntungan yang dihasilkan oleh Abu Sufyân beserta rombongan yang selamat dari sergapan kaum Muslimin dikhususkan untuk bekal pasukan mereka dalam perang Uhud. Untuk menyukseskan misi mereka dalam perang Uhud ini, kaum Quraisy berhasil mengumpulkan 3 ribu pasukan yang terdiri dari kaum Quraisy dan suku-suku yang loyal kepada Quraisy seperti Bani Kinânah dan penduduk Tihâmah. Mereka memiliki 200 pasukan berkuda dan 700 pasukan yang memakai baju besi. Mereka mengangkat Khâlid bin al-Walîd sebagai komandan sayap kanan, sementara sayap kiri di bawah komando Ikrimah bin Abu Jahl.

Mereka juga mengajak beberapa orang wanita untuk membangkitkan semangat pasukan Quraisy dan menjaga mereka supaya tidak melarikan diri. Sebab jika ada yang melarikan diri, dia akan dicela oleh para wanita ini. Tentang jumlah wanita ini, para Ahli Sirah berbeda pendapat. Ibnu Ishâq rahimahullah menyebutkan bahwa jumlah mereka 8 orang, al-Wâqidi rahimahullah menyebutkan 14 orang, sedangkan Ibnu Sa’d rahimahullah menyebutkan 15 wanita.


MIMPI RASÛLULLÂH SHALLALLÂHU 'ALAIHI WASALLAM


Sebelum peperangan ini berkecamuk, Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam diperlihatkan peristiwa yang akan terjadi dalam perang ini melalui mimpi. Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menceritakan mimpi ini kepada para Sahabat. Beliau Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
“Saya bermimpi mengayunkan pedang lalu pedang itu patah ujungnya. Itu (isyarat-pent) musibah yang menimpa kaum Muslimin dalam Perang Uhud. Kemudian saya ayunkan lagi pedang itu lalu pedang itu baik lagi, lebih baik dari sebelumnya. Itu (isyarat –pent-) kemenangan yang Allah Ta’ala anugerahkan dan persatuan kaum Muslimin. Dalam mimpi itu saya juga melihat sapi –Dan apa yang Allah lakukan itu adalah yang terbaik- Itu (isyarat) terhadap kaum Muslimin (yang menjadi korban) dalam perang Uhud. Kebaikan adalah kebaikan yang Allah Ta’ala anugerahkan dan balasan kejujuran yang Allah Ta’ala karuniakan setelah perang Badar”.

Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menakwilkan mimpi Beliau ini dengan kekalahan dan kematian yang akan terjadi dalam Perang Uhud.

Saat mengetahui kedatangan Quraisy untuk menyerbu kaum Muslimin di Madinah, Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam mengajak para Sahabat bermusyawarah untuk mengambil tindakan terbaik. Apakah mereka tetap tinggal di Madinah menunggu dan menyambut musuh di kota Madinah ataukah mereka akan menyongsong musuh di luar Madinah?
Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam cenderung mengajak para Sahabat bertahan di Madinah dan melakukan perang kota, namun sekelompok kaum Anshâr radhiallahu'anhum mengatakan,
“Wahai Nabiyullâh! Sesungguhnya kami benci berperang di jalan kota Madinah. Pada jaman jahiliyah kami telah berusaha menghindari peperangan (dalam kota), maka setelah Islam kita lebih berhak untuk menghindarinya. Cegatlah mereka (di luar Madinah) !"
Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersiap untuk berangkat. Beliau mengenakan baju besi dan segala peralatan perang. Setelah menyadari keadaan, para Sahabat saling menyalahkan. Akhirnya, mereka mengatakan:
“Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menawarkan sesuatu, namun kalian mengajukan yang lain. Wahai Hamzah, temuilah Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dan katakanlah, “Kami mengikuti pendapatmu”".
Hamzah radhiallahu’anhu pun datang menemui Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dan mengatakan, ‘Wahai Rasulullâh, sesungguhnya para pengikutmu saling menyalahkan dan akhirnya mengatakan, ‘Kami mengikuti pendapatmu.’ Mendengar ucapan paman beliau ini, Rasulullâh Salallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda :
‘Sesungguhnya jika seorang Nabi sudah mengenakan peralatan perangnya, maka dia tidak akan menanggalkannya hingga terjadi peperangan’.

Keputusan musyawarah tersebut adalah menghadang musuh di luar kota Madinah. Ibnu Ishâq rahimahullah dan yang lainnya menyebutkan bahwa ‘Abdullâh ibnu Salûl setuju dengan pendapat Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam untuk tetap bertahan di Madinah. Sementara at-Thabari membawakan riwayat yang berlawanan dengan riwayat Ibnu Ishâq rahimahullah, namun dalam sanad yang kedua ini ada orang yang tertuduh dan sering melakukan kesalahan. Oleh karena itu, al-Bâkiri dalam tesisnya lebih menguatkan riwayat yang dibawakan oleh Ibnu Ishâq rahimahullah.

Para Ulama Ahli Sirah menyebutkan bahwa yang memotivasi para Sahabat untuk menyongsong musuh di luar Madinah yaitu keinginan untuk menunjukkan keberanian mereka di hadapan musuh, juga keinginan untuk turut andil dalam jihad, karena mereka tidak mendapat kesempatan untuk ikut dalam Perang Badar.

Sementara, Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam lebih memilih untuk tetap tinggal dan bertahan di Madinah, karena Beliau ingin memanfaatkan bangunan-bangunan Madinah serta memanfaatkan orang-orang yang tinggal di Madinah.


PELAJARAN DARI KISAH


Kaum Muslimin yang sedang berada di daerah, jika diserbu oleh musuh, maka mereka tidak wajib menyongsong kedatangan musuh. Mereka boleh tetap memilih bertahan di rumah-rumah mereka dan memerangi musuh di sana. Ini jika strategi ini diharapkan lebih mudah untuk mengalahkan musuh. Hal ini sebagaimana yang diisyaratkan oleh Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dalam Perang Uhud.

Jumat, 03 Juni 2011

Qodho’ dan Qodhar

Ibadah dhohir batin yang akan menjadikan hati menjadi yakin dan khusu’. Itulah yang dimaksud dengan “menyatukan qodo’ dan qodar dalam satu kesatuan amal”.
Kalangan kita yang awam ini sering sulit dapat membedakan. Di dalam bagian hidup ini—dari perbuatan yang sehari-hari dikerjakan manusia—mana yang bagian alam azaliyah (qodo’) dan mana yang bagian alam hadits (qodar). Mana yang kehendak (irodah) basyariyah yang hadits dan mana kehendak (irodah) Allah Ta’ala yang qodim. Demikian pula, di dalam kehendak basyariyah kita yang hadits itu—ketika perbuatan itu sedang dikerjakan—mana di dalamnya yang termasuk bagian dari kehendak Allah Ta’ala yang qodim. Sebab, tidak satupun kehendak manusia yang hadits melainkan pasti kehendak itu terbit dari kehendak Allah Ta’ala yang qodim(azaliyah). Demikian pula, apabila dua alam itu(alam hadits dan alam qodim) dapat dipadukan manusia secara spiritual di dalam satu kesatuan amal ibadah dhohir yang hadits, maka amal ibadah yang hadits itu akan menjadi amal ibadah yang kuat dan sempurna. Setiap pribadi muslim pasti percaya adanya qodo’ dan qodar. Qodo’ adalah ketetapan Allah pada zaman azali yang sifatnya qodim sedangkan qodar adalah pelaksanaan qodo’ itu pada zaman sekarang yang hadits. Sebabnya, iman qodo’ dan qodar itu adalah termasuk di dalam rukun iman yang keenam. Bahkan seorang muslim percaya bahwa baiknya dan jeleknya juga adalah dari Allah Ta’ala (khoirihi wa syarrihi minallaahi Ta’ala). Namun, barangkali yang kurang dipahami banyak orang adalah cara mengetrapkan qodo’ qodar itu di dalam iman, yaitu memadukan antara qodo’ dan qodar itu secara spiritual di dalam satu amal yang dhohir. Secara teori, atau ilmu yang harus diimani oleh yang beriman adalah, bahwa setiap kejadian yang telah atau sedang terjadi, pasti sebelumnya sudah ditentukan oleh Allah Ta’ala pada zaman azali. Masalahnya, ketika kejadian itu terbit dari perbuatan manusia, dari kehendak pribadi yang hadits, maka sering timbul suatu pertanyaan: “Kalau apa-apa yang sedang dikerjakan manusia itu adalah sesuatu yang sudah ditentukan Allah Ta’ala pada zaman azali……..?, maka apa arti kehendak dan perbuatan manusia itu disaat manusia itu sedang mengerjakan pekerjaannya…?.
Bahkan ada yang bertanya lebih ekstrim, yang kadang-kadang sering dimunculkan di dalam majlis-majlis pengajian dan forum diskusi yang sifatnya umum. Mereka bertanya: “Kalau perbuatan jelek manusia yang dapat mengakibatkan manusia terjerumus masuk ke neraka itu, juga adalah apa-apa yang sudah dikehendaki Allah Ta’ala pada zaman azali, berarti, bukankah Allah juga punya andil dalam kejelekan itu……? Kalau demikian mengapa manusia sebagai pelaksana kehendak-Nya dimasukkan ke neraka..?. Dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang kadang-kadang dapat menggangu pemikiran awam, yang kalau dibiarkan dapat merusak aqidah yang baru tumbuh.
Oleh karena itu, urusan qodo’ dan qodar ini tidak banyak dibicarakan oleh para ulama’ salaf, terlebih kepada yang bukan ahlinya dan di majlis-majlis yang sifatnya umum. Karena, mereka takut ada yang salah dalam pemahaman, terlebih bagi yang belum mampu menerimanya. Demikian juga, karena di dalam urusan qodo’ dan qodar itu banyak hal yang menyangkut ilmu rasa atau ilmu mukasyafah (intuisi), bukan sekedar ilmu rasional. Maha Suci Allah dari segala imajinasi manusia.
Semoga Allah Ta’ala selalu menjaga kita dari kesalahan yang fatal dalam berbicara. Berangkat dari pembicaraan bahwa manusia adalah seorang kholifah Allah di muka bumi, yaitu sumber pelaksana di muka bumi. Oleh karena kebanyakan manusia melupakan hakikat kekholifahan itu, maka dalam kaitan memahami qodo’ dan qodar ini menjadikan kebanyakan mereka menjadi kurang mampu untuk memahaminya. Maksudnya, bahwa secara sunnah (sunatullah) manusia telah ditentukan sang Pencipta yang Maha Kuasa sebagai tenaga pelaksana di muka bumi. Dengan itu supaya disana tercipta amal dan karya. Karena hanya dengan amal dan karya itulah manusia akan mendapatkan bagian yang sudah ditentukan Allah Ta’ala untuk dirinya. Baik berupa sarana kehidupan di dunia maupun di akhirat.
Sarana-sarana kehidupan manusia itu, kalau diibaratkan buah mangga, maka buah mangga itu masih bergantung di pohonnya. Meski buah mangga itu sudah diperuntukkan bagi seseorang, apabila orang tersebut tidak mau berusaha mengambilnya, maka buah mangga itu tidak akan datang sendiri kepangkuannya. Demikian juga, cara mengambil buah mangga itu, karena buah itu masih tergantung di pohonnya, maka haruslah dengan ada kemauan dan kemampuan serta sarana pendukung yang memadai. Yang demikian itupun juga sunnatullah yang sejak ditetapkan tidak akan ada perubahan lagi untuk selama-lamanya. Oleh karena itu, untuk mendapatkan jatah2 yang sudah ditentukan bagi dirinya itu, selama hidupnya manusia harus berbuat dan berusaha. 2 Kaitan jatah ini Allah Ta’ala telah menyatakan dengan firman-Nya yang artinya: “Dia akan memberi kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan akan keutamaan(yang sudah ditentukan bagi)nya”.QS.Hud/3.
Tidak boleh hanya tinggal diam saja. Manusia harus membangun dan mengelola sendi-sendi kehidupannya. Secara universal dan meliputi setiap sendi yang ada yang dimulai dari hidupnya sendiri, keluarga, rumah tangga dan lingkungannya. Dimana saja berada dan sebagai apa saja, manusia harus mampu berbuat amar ma’ruf dan nahi ‘anil mungkar. Karena dengan amar ma’ruf nahi munkar itulah, kehidupan di muka bumi ini akan benar-benar menjadi hidup subur dan makmur. Allah Ta’ala telah menyatakan sunnah tersebut dengan firman-Nya:
“Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”. QS: Ar’d/11.
Untuk menjalankan fungsi kekholi-fahan tersebut, manusia mendapatkan hak untuk bebas menentukan pilihan hidup (Huriyatul Irodah). Maksudnya, manusia yang harus memilih jalan hidupnya sendiri. Dengan amal kebaikan atau keburukan, meski masing-masing keduanya akan membawa dampak dan konsekwensi yang harus mampu dipertanggungjawabkan sendiri oleh manusia. Oleh karena itu, supaya manusia tidak salah dalam memilih dan juga supaya tercipta aturan main yang adil dan bertanggungjawab di muka bumi, maka Rasul-rasul dan para Nabi saw. diutus sebagai pemimpin dan pembimbing manusia serta kitab-kitab langit diturun-kan sebagai pedoman dan rambu-rambu jalan yang harus ditaati. Disamping yang demikian itu, manusia juga telah dilengkapi dengan indera-indera kehidupan, baik indera yang dhohir maupun yang batin. Indera-indera itu adalah sarana, sebagai perangkat-perangkat atau alat mekanik supaya manusia dapat menjalani hidup dan kehidupannya dengan layak dan sempurna. Untuk mengendalikan seluruh anggota tubuh yang ada, seperti kaki, tangan, mata, telinga, dan lisan, manusia telah dilengkapi pula oleh Sang Maha Pencipta Yang Maha Pemurah dengan tiga perangkat pokok, yaitu nafsu, akal dan hati, atau lazim disebut emosional, rasional dan spiritual.
Dengan ketiga perangkat pengendali tersebut, manusia harus menentukan jalan hidupnya untuk sebuah karya. Mengisi lembaran-lembaran buku putihnya dengan sejarah dan perjalanan hidup yang secara dhohir dirinya sendiri diberi kesempatan untuk memilih sendiri, dengan amal kebajikan atau amal kejahatan. Apabila manusia memilih meng-gunakan akalnya untuk memperturutkan nafsu dan hawanya berarti manusia telah berbuat maksiat dan mendapatkan dosa. Namun apabila dengan akal itu manusia memilih menahan nafsunya dan mengikuti kehendak hatinya berarti manusia telah berbuat taat dan mendapatkan pahala. Kesempatan untuk memilih itu, yang juga disebut “Huriyatul Irodah”, sejatinya adalah anugrah terbesar yang diberikan Allah Ta’ala kepada manusia. Namun demikian, dengan anugrah itu, boleh jadi manusia dimasukkan ke neraka atau ke surga. Itulah yang dimaksud dengan fungsi kekholifahan itu, yang hanya diberikan Allah Ta’ala kepada manusia yang tidak diberikan kepada makhluk yang lainnya. Yang demikian itu karena sekali-kali Allah Ta’ala tidak berbuat zalim kepada hamba-Nya. Adapun makhluk selain manusia, kecuali Jin, malaikat sekalipun, mereka hanya menjalankan suratan hidupnya yang telah ditentukan dengan ketat tanpa ada kesempatan untuk memilih. Oleh karena itu, meski binatang kadang-kadang menjalankan hidupnya dengan semaunya sendiri. Yaitu tidak perduli barang orang lain yang mestinya harus dijaga, asal ada kesempatan pasti akan disikat juga, seperti kalau manusia adalah perbuatan seorang koruptor, apabila pekerjaan itu dilakukan oleh binatang maka binatang itu tidak akan dimasukkan ke penjara, baik penjara di dunia maupun di akhirat. Yang demikian itu karena sejatinya binatang itu tidak mempunyai pilihan hidup.
Tidak seperti manusia. Secara dhohir manusia harus memulai dan memilih, itulah amal. Dengan amal itu supaya ada sebab-sebab dhohir, yang akhirnya juga akan melahirkan akibat yang dhohir pula. Maka, apabila manusia hanya memilih bagian hidup yang senang saja, pada gilirannya, suatu saat pasti manusia akan menemukan bagian hidupnya yang susah. Yang demikian itu, oleh karena senangnya sudah dihabiskan di depan, maka dikemudian hari, yang akan tersisa hanya tinggal susahnya saja. Itulah hukum sebab akibat, sebagai sunnah yang tidak akan ada perubahan lagi untuk selamanya. Namun demikian, sejatinya sebab dan akibat itu terjadi hanya mengikuti suratan takdir yang sudah ditentukan Allah Ta’ala sejak zaman azali.
Allah telah tegaskan yang demikian itu dengan firman-Nya:
“Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan (dengan Dia)”. QS.al-Qoshosh.28/68.
Disinilah para awam kadang-kadang mengalami kebingungan. Mana bagian yang qodo’ dan mana bagian yang qodar ketika qodo’ dan qodar itu dikaitkan dengan satu amal perbuatan yang sedang dilakukan manusia. Untuk dapat memisahkan antara qodo’ yang azaliyah di dalam satu pelaksanaan amal hadits yang sejatinya juga adalah takdir Allah Ta’ala tersebut, yang terpenting bagi manusia adalah kemampuannya dalam memahami dan mengenali dirinya sendiri. Bahwa pada diri manusia itu ada dua kehendak atau irodah. Yang satu irodah azaliyah dan ia sudah ditentukan Allah Ta’ala sebagai qodo’-Nya sejak zaman azali dan yang satunya adalah irodah hadits, yaitu kehendak manusia yang sekarang yang sesungguhnya adalah merupakan qodar, atau takdir-Nya sekarang. Maka yang dimaksud dengan memadukan antara qodo’ dan qodar dalam satu amal perbuatan itu ialah, memadukan antara irodah azaliyah dengan irodah hadits yang ada pada diri manusia itu sendiri. Yaitu memadukan dua konsep dalam satu perasaan pengabdian dan ibadah secara rasional. Yang satu konsep langit dan yang satu konsep bumi. Konkritnya, ketika seorang hamba sedang menjalankan ibadah, baik vertikal maupun horizontal, hendaknya dia selalu ingat dan sadar serta mengetrapkan ingatan tersebut di dalam satu perasaan, bahwa ibadah yang sedang dikerjakan itu sejatinya adalah apa yang sudah di dahului oleh ketentuan Allah Ta’ala sebagai qodo’-Nya pada zaman azali sedangkan pekerjaan yang sedang dikerjakannya sekarang, semata-mata adalah pelaksanaan dari ketentuan azali itu atau qodar-Nya. Maka, dalam ibadah yang sedang dilaksanakan itu, seorang hamba harus mampu menerapkan tiga tahapan penerapan di dalam perasaannya:
1. Seorang hamba haruslah selalu mampu sadar, bahwa dia adalah makhluk yang diciptakan Allah Ta’ala. Dari sekian makhluk ciptaan itu, sekarang, dirinya adalah sekaligus yang dipilih untuk menjadi seorang hamba yang mendapat kesempatan untuk menjalankan ibadah dan bermunajat di hadapan-Nya. Namun demikian, dia
juga harus sadar, bahwa ibadah yang sedang dikerjakan tersebut sejatinya sudah ditentukan-Nya—sebagai qodo’-Nya—sejak zaman azali, sedangkan keadaan yang sekarang ini hanyalah sekedar pelak-sanaan dari ketentuan tersebut sebagai qodar-Nya. Dengan yang demikian itu, maka saat itu dua pilihan telah menyatu menjadi satu. Yang satu pilihan manusia sebagai seorang Kholifah Bumi yang harus beramal dan mengabdi, dan yang satunya, hakikatnya adalah pilihan Allah Ta’ala yang sudah ditentukan sejak zaman azali, yaitu supaya saat itu sang Kholifah mampu mengabdi dengan pengabdian yang hakiki. Allah Ta’ala telah membongkar rahasia itu dengan firman-Nya:
“Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan (dengan Dia)”. QS.al-Qoshosh.28/68.
Adalah penyatuan dua kehendak di dalam satu amal perbuatan. Yang satu kehendak yang hadits dan yang satunya kehendak yang qodim. Ketika kehendak yang hadits tersebut benar-benar dapat menyatu dengan kehendak yang qodim, maka yang hadits seketika menjelma menjadi qodim. Adalah sunnatullah, maka siapapun dapat mencapai sunnah itu asal mampu mancapainya dengan cara(sunnah) yang benar pula.
Rasulullah saw. membongkar rahasia itu dengan sabdanya yang artinya: “Permulaan dzikir adalah
gila(junun), pertengahan-nya adalah fana(funun) dan akhirnya adalah “kun fa yakun”(jadilah maka jadilah ia).
2. Kalau kemudian terbit di dalam pengakuan akal manusia bahwa pengabdian yang sedang dilaksanakan itu adalah bentuk amal perbuatan yang sedang dikerjakan dan diusahakannya sendiri, maka hendaklah dia cepat-cepat ingat pula bahwa sejatinya dirinya adalah makhluk yang diciptakan Allah Ta’ala. Kalau manusia adalah makhluk yang diciptakan-Nya berarti apa saja yang sedang diperbuat oleh manusia, berarti pula adalah ciptaan-Nya. Allah Ta’ala telah menegaskan yang demikian itu dengan firman-Nya:
“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu". QS:37/97.
Dengan itu, maka dua perbuatan menjadi satu dalam kesatuan amal dan ibadah yang sedang dikerjakan oleh seorang hamba secara hakiki adalah ciptaan-Nya juga.
3. Ketika akal seorang hamba ingat bahwa amal perbuatan itu pastilah telah didahului dengan kehendak (irodah) nya sekarang yang hadits maka segeralah seorang hamba ingat pula bahwa irodahnya yang hadits itu pun seejatinya adalah telah terlebih dahulu berangkat dari kehendak (irodah) Allah Ta’ala yang azali yang qodim. Allah Ta’ala telah menegaskan yang demikian itu dengan firman-Nya:
“Dan bukan kamu berkehendak (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. QS. al-Insan.76/30.
Saat itu, maka dua kehendak (masyi’ah) dalam satu amal telah menyatu dalam kesatuan kehendak. Yang satu kehendak seorang hamba yang hadits dan yang satunya adalah kehendak Allah Ta’ala yang qodim. Artinya, bahwa kehendak seorang hamba yang sekarang ini, sejatinya hanyalah sekedar pelaksanaan (qodar) yang diterbitkan dari kehendak Allah Ta’ala yang qodim(qodo’) yang sudah ditentukan sejak zaman azali. Ketika dua pilihan telah menyatu di dalam satu
perbuatan. Dua amal menjadi satu di dalam satu penciptaan. Dua irodah telah larut di dalam satu kesatuan amal ibadah. Artinya ketika amal yang hadits itu telah menyatu dengan amal yang qodim, sehingga yang hadits akan menjelma menjadi qodim, dengan yang demikian itu, dengan izin Allah Ta’ala, dua energi akan bertemu dan menjadi satu dalam kesatuan amal perbuatan. Yang satu usaha seorang hamba untuk mengabdi dan yang satu adalah inayah Allah Ta’ala supaya amal perbuatan seorang hamba menjadi suatu pengabdian yang hakiki. Adalah penyatuan dua energi yang akan mampu menciptakan energi yang luar biasa. Maksudnya, energi bumi dengan energi langit ketika telah mampu disatukan dalam satu kesatuan sunnah, maka dengan izin Allah, “sunnah” itu akan mampu merubah sunnah-sunnah yang sudah ada. Itulah energi “karomah” yang hanya dimiliki oleh para kekasih Allah Ta’ala(waliyullah) yang suci lagi mulia.
Yaitu orang-orang yang kekhusu’an hatinya dalam menempa diri, baik dhohir maupun batin telah berhasil mensucikan ruhani(ruh)nya dari segala kotoran dan penyakit duniawi hingga ruhani itu kembali sebagaimana fithrahnya. Selanjut-nya, dengan izin Allah, apa saja yang dijumpainya, baik makhluk yang dhohir maupun yang batin akan mampu mengikuti komando hatinya untuk bersama-sama kembali kepada sebagai-mana fithrahnya Yang demikian itu, ketika kehendak nafsu dan akal telah sepakat secara totalitas mengikuti kehendak hati, maka hati akan leluasa terbang tinggi. Bagaikan sehelai rambut dicabut dari adonan roti, hati itu dengan mudah melakukan pengembaraan yang dikehendaki. Membuka dan memasuki pintu-pintu langit dengan kunci rahasia dan kendaraan yang sudah tersedia. Pulang pergi bermi’raj di dalam hamparan lembah yang disucikan dengan sesuka hati karena Inayah telah memfasilitasi.
Itulah anugerah yang utama, maka sebuah amal yang asalnya lemah dan hina, karena sekedar perbuatan seorang hamba yang hadits, akan menjadi kuat dan mulia karena telah mendapatkan inayah dari Dzat Yang Maha Mulia yang qodim. Untuk itulah, maka Allah SWT. Telah menganjurkan kepada seorang hamba yang sedang mengadakan pengembaraan malam dengan membaca sebuah do’a:
“Dan katakanlah: "Ya Tuhan-ku, masukkanlah aku secara masuk yang benar dan keluarkanlah (pula) aku secara keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong”. QS:17/80.
Yaitu, supaya hati seorang pengembara dapat masuk dan keluar di alam ruhaniyah(ghaib) dengan benar, sang pengembara malam itu harus mendapat-kan kekuasaan yang menolong (Sulthonul Ilahiyat), itulah “Inayah Allah” yang akan diberikan kepada hamba-hamba yang dikehendaki. “Inayah azaliyah” yang sejatinya telah dipancarkan-Nya sejak zaman azali. Bagaikan sinar mentari pada titik kulminasi, maka seorang hamba yang mencari sinarnya tinggal menempatkan diri untuk disinari.
Konsep Langit dan Konsep Bumi
Dalam kaitan menyatukan qodo’ dan qodar dalam satu amal ini, kewajiban pertama bagi seorang salik adalah memperkaya diri dengan dua konsep tersebut. Konsep langit yang juga disebut Ilmu Hakikat dan konsep bumi yang juga disebut Ilmu Syari’at. Dua dimensi ilmu yang telah banyak dibentangkan Allah Ta’ala baik di dalam Al-Qur’an Al-Karim maupun di dalam hadits Rasulullah saw. Seperti mutiara yang berserakan, tinggal manusia mampu menguntai dari keduanya dengan sebanyak-banyaknya. Agar dengan akalnya manusia mampu menjalankan konsep bumi dan dengan hatinya menjalankan konsep langit. Ketika dua dimensi ilmu yang berbeda itu dapat dipadukan dalam kesatuan amal ibadah, hasilnya, kehidupan manusia akan menjadi seimbang dan manusia itu akan menjadi insan kamil, manusia sempurna karena kedua kehidupannya, dhohir dan batinnya telah berjalan dengan sempurna. Semoga inayah Allah Ta’ala selalu menyertai kita semua. Salah satu konsep langit tersebut ialah apa yang telah disampaikan Rasulullah saw dalam sebuah haditsnya berikut ini:

Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas'ud r.a berkata: “Rasulullah s.a.w adalah seorang yang benar serta dipercaya telah bersabda: Kejadian seseorang itu dikumpulkan di dalam perut ibunya selama empat puluh hari. Setelah genap empat puluh hari yang kedua terbentuklah segumpal darah. Kemudian setelah genap empat puluh hari ketiga menjadi menjadi segumpal daging. Kemudian Allah SWT. mengutus malaikat untuk meniupkan ruh serta memerintahkan menulis empat perkara, yaitu ditentukan rezekinya, ajal kematiannya, amalan serta nasibnya, yaitu akan mendapat kecelakaan atau kebahagiaan. Maha suci Allah SWT. tiada Tuhan selain-Nya. Seandainya seseorang mengerjakan amal sebagaimana yang dilakukan penghuni surga sehingga kehidupannya hanya tinggal satu langkah menuju ke surga,tetapi disebabkan ketentuan takdir yang terdahulu, niscaya dia akan melakukan amalan sebagaimana yang dilakukan oleh penghuni Neraka sehingga dia memasukinya. Begitu juga dengan mereka yang melakukan amalan ahli Neraka, disebabkan ketentuan takdir yang terdahulu niscaya dia akan melakukan amal sebagaimana yang dilakukan oleh penghuni surga sehingga dia memasukinya.
Menurut hadits Nabi saw tersebut diatas, bahwa jalan hidup manusia sudah ditentukan Allah Ta’ala semenjak proses kejadiannya di dalam rahim seorang ibu. Sejak malaikat diutus untuk meniupkan ruh kehidupan di dalamnya, Malaikat itu sejatinya juga diutus untuk menulis empat perkara yang akan terjadi dalam kehidupan manusia itu. Ditentukan rezekinya, ajal kematiannya, amalan serta nasibnya. Yaitu kelak akan mejadi orang celaka atau orang yang bahagia. Bahkan ditegaskan pula oleh Rasulullah saw. Dengan sabdanya: “Maha suci Allah SWT yang tiada Tuhan selain- Nya. Seandainya orang mengerjakan amal kebaikan seperti yang dilakukan penghuni surga sehingga kehidupannya hanya tinggal satu langkah menuju ke Surga itu, namun disebabkan ketentuan takdir yang terdahulu, niscaya suatu saat dia akan melakukan amalan kejelekan seperti yang dilakukan penghuni Neraka sehingga dia dimasukkan ke dalam Neraka. Begitu juga dengan mereka yang melakukan amalan ahli Neraka, disebabkan ketentuan takdir yang terdahulu niscaya dia juga akan melakukan amal seperti yang dilakukan penghuni Surga sehingga dimasukkan ke Surga”.
Oleh karena itu, ketika suatu saat Nabi Musa as. bertanya kepada Nabi Adam as. atas kekhilafan beliau yang telah diperbuatnya di surga sehingga menye-babkan umat manusia secara keseluruhan untuk sementara waktu harus menjalani hidupnya di dunia, Nabi Adam berhujjah kepada Nabi Musa as. Allah Ta’ala telah mengabadikan peristiwa itu melalui sebuah hadits Rasul-Nya saw. Nabi saw bersabda:

Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. berkata: “Rasulullah s.a.w bersabda: “Nabi Adam berhujjah kepada Nabi Musa a.s, Nabi Musa as. berkata: “Wahai Adam, engkau adalah bapakku. Engkau telah menyia-nyiakan aku dan engkau keluarkan aku dari surga. Nabi Adam menjawab: “Kamu hai Musa. Allah SWT telah memilihmu dengan kalam-Nya. Allah SWT menulis untukmu dengan tangan-Nya (kuasa). Apakah kamu akan mencela aku terhadap sesuatu yang telah ditetapkan Allah SWT, sejak empat puluh tahun sebelum aku diciptakan…?”. Nabi s.a.w bersabda: “Akhirnya Nabi Adam a.s tetap berhujjah (mengemukakan dalil) dengan Nabi Musa a.s. Akhirnya Nabi Adam a.s tetap berhujjah (mengemukakan dalil) dengan Nabi Musa as”.
Memang Nabi Adam as. telah berbuat kesalahan di Surga sehingga anak cucunya(manusia) harus mencicipi kehidupan alam dunia yang penuh tantangan dan duka ini. Meski kesalahan itu karena manusia tidak dapat menahan gejolak hawa nafsunya, namun kesalahan itu sejatinya adalah awal sunnah yang sudah ditentukan sejak zaman azali bagi manusia. Dengan kesalahan awal itu, hikmahnya, supaya manusia mau berbuat benah-benah. Memasuki sunnah-sunnah yang berikutnya untuk mengembalikan yang sudah kotor kepada kesucian fithrahnya. Yang demikian itu, karena hanya dengan nafsu dan kesalahan itulah, kemudian manusia dapat mengenal jarak perjalanan antara dirinya dengan Tuhannya. Asal dosa dan kesalahan itu mampu menerbitkan semangat ibadah dan taubatan nasuha, sehingga dengan dosa dan kesalahan itu manusia akan dikembalikan ke surga yang dahulu telah ditinggalkan nenek moyangnya. Namun, apabila dosa itu tidak menumbuhkan semangat ibadah, tapi malah menjadikan hatinya keras dan sombong, berarti dengan dosanya manusia akan dimasuk-kan ke Neraka selama-lamanya.

Jumat, 20 Mei 2011

Keutamaan Berdzikir

Di dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah diterangkan tentang keutamaan berdzikir kepada Allah, baik yang sifatnya muqayyad (tertentu dan terikat) yaitu waktu, bilangannya dan caranya terikat sesuai dengan keterangan dalam Al-Qur`an dan as sunnah tidak boleh bagi kita untuk menambah atau mengurangi bilangannya, atau menentukan waktunya tanpa dalil, atau membuat cara-cara berdzikir tersendiri tanpa disertai dalil baik dari Al-Qur`an ataupun hadits yang shahih/hasan, seperti berdzikir secara berjama’ah (lebih jelasnya lihat kitab Al-Qaulul Mufiid fii Adillatit Tauhiid, Al-Ibdaa’ fii Kamaalisy Syar’i wa Khatharul Ibtidaa’, Bid’ahnya Dzikir Berjama’ah, dan lain-lain).
Atau dzikir-dzikir yang sifatnya muthlaq, yaitu dzikir di setiap keadaan baik berbaring, duduk dan berjalan sebagaimana diterangkan oleh ‘A`isyah bahwa beliau berdzikir di setiap keadaan (HR. Muslim). Akan tetapi tidak boleh berdzikir/menyebut nama Allah di tempat-tempat yang kotor dan najis seperti kamar mandi atau wc.
Diantara ayat yang menjelaskan keutamaan berdzikir adalah:
1. Firman Allah,

فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلا تَكْفُرُونِ

Karena itu, ingatlah kalian kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepada kalian, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kalian mengingkari (nikmat)-Ku.” (Al-Baqarah:152)
2. Firman Allah,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا

Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya.” (Al-Ahzaab:41)
3. Firman Allah, “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar/jujur, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bershadaqah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Al-Ahzaab:35)
4. Firman Allah,
وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالآصَالِ وَلا تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِين
Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.” (Al-A’raaf:205)
Adapun di dalam As-Sunnah, Diantaranya:

1. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَثَلُ الَّذِيْ يَذْكُرُ رَبَّهُ وَالَّذِيْ لاَ يَذْكُرُ رَبَّهُ مَثَلُ الْحَيِّ وَالْمَيِّتِ

Permisalan orang yang berdzikir kepada Allah dengan orang yang tidak berdzikir kepada Allah adalah seperti orang yang hidup dan mati.” (HR. Al-Bukhariy no.6407 bersama Fathul Bari 11/208 dan Muslim 1/539 no.779)
Adapun lafazh Al-Imam Muslim adalah,

مَثَلُ الْبَيْتِ الَّذِيْ يُذْكَرُ اللهُ فِيْهِ وَالْبَيْتِ الَّذِيْ لاَ يُذْكَرُ اللهُ فِيْهِ مَثَلُ الْحَيِّ وَالْمَيِّتِ

Permisalan rumah yang di dalamnya disebut nama Allah dan rumah yang di dalamnya tidak disebut nama Allah adalah seperti orang yang hidup dan orang yang mati.”

2. Dari ‘Abdullah bin Busrin radhiyallahu ‘anhu bahwa ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ya Rasulullah, sesungguhnya syari’at Islam telah banyak atasku, maka kabarkan kepadaku dengan sesuatu yang aku akan mengikatkan diriku dengannya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

لاَ يَزَالُ لِسَانُكَ رَطْبًا مِنْ ذِكْرِ اللهِ

Hendaklah lisanmu senantiasa basah dengan dzikir kepada Allah.” (HR. At-Tirmidziy 5/458 dan Ibnu Majah 2/1246, lihat Shahiih Sunan At-Tirmidziy 3/139 dan Shahiih Sunan Ibni Maajah 2/317)

3. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لاَ أَقُوْلُ الم حَرْفٌ وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلاَمٌ حَرْفٌ وَمِيْمٌ حَرْفٌ

Barangsiapa membaca satu huruf dari Kitabullah maka dia mendapat satu kebaikan dan satu kebaikan dilipatgandakan menjadi sepuluh kali lipat. Aku tidak mengatakan alif laam miim satu huruf, akan tetapi alif satu huruf, laam satu huruf dan miim satu huruf.” (HR. At-Tirmidziy 5/175, lihat Shahiih Sunan At-Tirmidziy 3/9 serta Shahiihul Jaami’ Ash-Shaghiir 5/340)
Dzikir-dzikir Setelah Salam dari Shalat Wajib
Diantara dzikir-dzikir yang sifatnya muqayyad adalah dzikir setelah salam dari shalat wajib. Setelah selesai mengucapkan salam ke kanan dan ke kiri, kita disunnahkan membaca dzikir, yaitu sebagai berikut:
1. Membaca:

أَسْتَغْفِرُ اللهَ أَسْتَغْفِرُ اللهَ أَسْتَغْفِرُ اللهَ اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلاَمُ وَمِنْكَ السَّلاَمُ تَبَارَكْتَ يَا ذَا الْجَلاَلِ وَالإِكْرَامِ

Aku meminta ampunan kepada Allah (tiga kali). Ya Allah, Engkaulah As-Salaam (Yang selamat dari kejelekan-kejelekan, kekurangan-kekurangan dan kerusakan-kerusakan) dan dari-Mu as-salaam (keselamatan), Maha Berkah Engkau Wahai Dzat Yang Maha Agung dan Maha Baik.” (HR. Muslim 1/414)
2. Membaca:

لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ, اللَّهُمَّ لاَ مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ وَلاَ مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ وَلاَ يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ

Tiada tuhan yang berhak diibadahi selain Allah, tiada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya segala kerajaan, dan pujian, dan Dia Maha Berkuasa atas segala sesuatu. Ya Allah, tidak ada yang dapat menolak terhadap apa yang Engkau beri dan tidak ada yang dapat memberi terhadap apa yang Engkau tolak dan orang yang memiliki kekayaan tidak dapat menghalangi dari siksa-Mu.” (HR. Al-Bukhariy 1/255 dan Muslim 414)
3. Membaca:

لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ، لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَلاَ نَعْبُدُ إِلاَّ إِيَّاهُ، لَهُ النِّعْمَةُ وَلَهُ الْفَضْلُ وَلَهُ الثَّنَاءُ الْحَسَنُ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُوْنَ

Tiada tuhan yang berhak diibadahi selain Allah, tiada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya segala kerajaan, dan pujian, dan Dia Maha Berkuasa atas segala sesuatu. Tiada daya dan upaya serta kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah dan kami tidak beribadah kecuali kepada Allah, milik-Nya-lah segala kenikmatan, karunia, dan sanjungan yang baik, tiada tuhan yang berhak diibadahi selain Allah, kami mengikhlashkan agama untuk-Nya walaupun orang-orang kafir benci.” (HR. Muslim 1/415)
4. Membaca:

سُبْحَانَ اللهُ

Maha Suci Allah.” (tiga puluh tiga kali)

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ

Segala puji bagi Allah.” (tiga puluh tiga kali)

اَللهُ أَكْبَرُ

Allah Maha Besar.” (tiga puluh tiga kali)
Kemudian dilengkapi menjadi seratus dengan membaca,

لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ

Tiada tuhan yang berhak diibadahi selain Allah, tiada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya segala kerajaan, dan pujian, dan Dia Maha Berkuasa atas segala sesuatu.”
Barangsiapa mengucapkan dzikir ini setelah selesai dari setiap shalat wajib, maka diampuni dosa-dosanya walaupun sebanyak buih di lautan. (HR. Muslim 1/418 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Ada dua sifat (amalan) yang tidaklah seorang muslim menjaga keduanya (yaitu senantiasa mengamalkannya, pent) kecuali dia akan masuk jannah, dua amalan itu (sebenarnya) mudah, akan tetapi yang mengamalkannya sedikit, (dua amalan tersebut adalah): mensucikan Allah Ta’ala setelah selesai dari setiap shalat wajib sebanyak sepuluh kali (maksudnya membaca Subhaanallaah), memujinya (membaca Alhamdulillaah) sepuluh kali, dan bertakbir (membaca Allaahu Akbar) sepuluh kali, maka itulah jumlahnya 150 kali (dalam lima kali shalat sehari semalam, pent) diucapkan oleh lisan, akan tetapi menjadi 1500 dalam timbangan (di akhirat). Dan amalan yang kedua, bertakbir 34 kali ketika hendak tidur, bertahmid 33 kali dan bertasbih 33 kali (atau boleh tasbih dulu, tahmid baru takbir, pent), maka itulah 100 kali diucapkan oleh lisan dan 1000 kali dalam timbangan.”
Ibnu ‘Umar berkata, “Sungguh aku telah melihat Rasulullah menekuk tangan (yaitu jarinya) ketika mengucapkan dzikir-dzikir tersebut.”
Para shahabat bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimana dikatakan bahwa kedua amalan tersebut ringan/mudah akan tetapi sedikit yang mengamalkannya?
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Syaithan mendatangi salah seorang dari kalian ketika hendak tidur, lalu menjadikannya tertidur sebelum mengucapkan dzikir-dzikir tersebut, dan syaithan pun mendatanginya di dalam shalatnya (maksudnya setelah shalat), lalu mengingatkannya tentang kebutuhannya (lalu dia pun pergi) sebelum mengucapkannya.” (Hadits Shahih Riwayat Abu Dawud no.5065, At-Tirmidziy no.3471, An-Nasa`iy 3/74-75, Ibnu Majah no.926 dan Ahmad 2/161,205, lihat Shahiih Kitaab Al-Adzkaar, karya Asy-Syaikh Salim Al-Hilaliy 1/204)
Kita boleh berdzikir dengan tasbih, tahmid dan takbir masing-masing 33 kali dengan ditambah tahlil satu kali atau masing-masing 10 kali, yang penting konsisten, jika memilih yang 10 kali maka dalam satu hari kita memakai dzikir yang 10 kali tersebut.
Hadits ini selayaknya diperhatikan oleh kita semua, jangan sampai amalan yang sebenarnya mudah, tidak bisa kita amalkan.
Tentunya amalan/ibadah semudah apapun tidak akan terwujud kecuali dengan pertolongan Allah. Setiap beramal apapun seharusnya kita meminta pertolongan kepada Allah, dalam rangka merealisasikan firman Allah,

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

Hanya kepada Engkaulah kami beribadah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.” (Al-Faatihah:4)
5. Membaca surat Al-Ikhlaash, Al-Falaq dan An-Naas satu kali setelah shalat Zhuhur, ‘Ashar dan ‘Isya`. Adapun setelah shalat Maghrib dan Shubuh dibaca tiga kali. (HR. Abu Dawud 2/86 dan An-Nasa`iy 3/68, lihat Shahiih Sunan At-Tirmidziy 2/8, lihat juga Fathul Baari 9/62)
6. Membaca ayat kursi yaitu surat Al-Baqarah:255
Barangsiapa membaca ayat ini setiap selesai shalat tidak ada yang dapat mencegahnya masuk jannah kecuali maut. (HR. An-Nasa`iy dalam ‘Amalul yaum wal lailah no.100, Ibnus Sunniy no.121 dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albaniy dalam Shahiihul Jaami’ 5/339 dan Silsilatul Ahaadiits Ash-Shahiihah 2/697 no.972)
7. Membaca:

اللَّهُمَّ أَعِنِّيْ عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ

Sebagaimana diterangkan dalam hadits Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memegang kedua tangannya dan berkata, “Ya Mu’adz, Demi Allah, sungguh aku benar-benar mencintaimu.” Lalu beliau bersabda, “Aku wasiatkan kepadamu Ya Mu’adz, janganlah sekali-kali engkau meninggalkan di setiap selesai shalat, ucapan...” (lihat di atas):
Ya Allah, tolonglah aku agar senantiasa mengingat-Mu, bersyukur kepada-Mu dan beribadah dengan baik kepada-Mu.” (HR. Abu Dawud 2/86 dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albaniy dalam Shahiih Sunan Abi Dawud 1/284)
Do’a ini bisa dibaca setelah tasyahhud dan sebelum salam atau setelah salam. (‘Aunul Ma’buud 4/269)
8. Membaca:

لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ يُحْيِيْ وَيُمِيْتُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ

Tiada tuhan yang berhak diibadahi selain Allah, tiada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya segala kerajaan, dan pujian, yang menghidupkan dan mematikan dan Dia Maha Berkuasa atas segala sesuatu.”
Dibaca sepuluh kali setelah shalat Maghrib dan Shubuh. (HR. At-Tirmidziy 5/515 dan Ahmad 4/227, lihat takhrijnya dalam Zaadul Ma’aad 1/300)
9. Membaca:

اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا وَرِزْقًا طَيِّبًا وَعَمَلاً مُتَقَبَّلاً

Ya Allah, sesungguhnya aku meminta kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rizki yang baik dan amal yang diterima.” Setelah salam dari shalat shubuh. (HR. Ibnu Majah, lihat Shahiih Sunan Ibni Maajah 1/152 dan Majma’uz Zawaa`id 10/111)
Semoga kita diberikan taufiq oleh Allah sehingga bisa mengamalkan dzikir-dzikir ini, aamiin.
Wallaahu A’lam.